Dalam dunia menulis, kita sering diajarkan untuk patuh pada struktur. Kalimat harus lengkap: Minimal S+P (Subjek + Predikat). Lebih lengkap lagi kalau ada Objek dan Keterangan menjadi (SPOK). Tapi seperti kata pelukis Pablo Picasso,
"Learn the rules like a pro, so you can break them like an artist."
Yup! Pahami dan kuasai aturannya, maka kamu akan dengan mudah mengutak-atik dan bereksplorasi sepertihalnya seorang seniman atau penulis profesional. Inilah yang terjadi dengan salah satu teknik dalam penulisan kreatif, yaitu 'Snapshot'!
Frasa, pada dasarnya secara teori adalah kalimat yang gagal. Belum jadi. Tidak memenuhi syarat minimal untuk berdiri sendiri sebagai sebuah kalimat. Kalau kalimat adalah "Hujan turun deras sekali," maka frasa adalah "Deras sekali." Atau bisa jadi cuma "Deras." Satu kata. Dua kata. Tidak lengkap. Dalam penulisan formal, ini jelas salah. Tapi dalam creative writing atau khususnya menulis fiksi, frasa justru menjadi teknik sendiri untuk menjadikan suasana lebih dramatis. Hal ini dinamakan dengan 'Snapshot'.
Teknik snapshot bekerja seperti namanya; bidikan kamera yang tiba-tiba. Sekejap. Menangkap momen dalam potongan-potongan tajam yang menusuk kesadaran pembaca.
Bayangkan kamu sedang menulis adegan seseorang yang baru saja menerima kabar buruk. Kamu bisa menulis dengan kalimat lengkap Subjek + Predikat: "Dia terdiam. Tangannya gemetar. Wajahnya pucat." Betul secara tata bahasa, tapi masih kurang 'jleb' atau dramatis, bukan?
Sekarang bandingkan dengan ini:
"Dia terdiam. Gemetar. Pucat. Napasnya tertahan di tenggorokan."
Kerasa bedanya? Kata "Gemetar" dan "Pucat" yang berdiri sendiri menciptakan efek patah-patah, seperti detak jantung yang tidak beraturan. Hal ini akan membuat pembaca merasakan shock yang sama dengan tokoh. Itulah kekuatan snapshot.
Tere Liye (meskipun saya sama sekali tidak ngefans ðŸ¤), dalam novel-novelnya, sering menggunakan teknik ini untuk membangun ketegangan. Misalnya ketika menggambarkan momen berbahaya: "Gelap. Sunyi mencekam. Hanya langkah kaki yang menggema." Frasa "Gelap" dan "Sunyi mencekam", berdiri sendiri, menciptakan jeda yang menegangkan sebelum kalimat berikutnya.
Dalam buku "The Art of Fiction" karya John Gardner, dijelaskan bahwa ritme adalah salah satu elemen penting dalam prosa.
Snapshot menciptakan ritme yang dinamis, seperti staccato dalam musik. Tidak monoton. Ada jeda, ada tembakan mendadak, ada napas yang tertahan.
Perhatikan contoh ini: "Pagi itu cafe sepi. Hanya aroma kopi yang mengambang di udara. Pahit. Pekat. Mengingatkannya pada sesuatu yang sudah lama ia kubur." Kata "Pahit" dan "Pekat" yang terpisah menciptakan penekanan. Seolah-olah tokoh sedang merasakan rasa kopi itu lapis demi lapis, perlahan, dengan kesadaran penuh.
Teknik snapshot ini juga membuat tulisan terasa lebih hidup, lebih bernapas. Tidak kaku seperti sebuah laporan ilmiah atau proposal pengajuan pendanaan 😂.
Ray Bradbury dalam "Zen in the Art of Writing" menyebut bahwa menulis harusnya seperti berlari kencang menuruni bukit, bukan berjalan kaku di museum. Snapshot memberikan kebebasan itu.
Tapi teknik ini juga cukup menantang bagi pemula seperti saya. Kita harus paham kapan menggunakan frasa sebagai snapshot dan kapan kita sebenarnya cuma tidak tahu cara membuat kalimat lengkap. Seperti kata pepatah, seorang tukang harus kenal peralatannya. Jangan sampai gergaji dipakai untuk mencukur rambut, bukan?
AS Laksana, kritikus sastra ternama, memang pernah mengkritik penggunaan snapshot berlebihan. Tapi kritiknya lebih pada ketidaktahuan penulis, bukan pada tekniknya sendiri. Kalau kamu sadar melanggar aturan, itu 'seni'-nya dalam menulis fiksi. Kalau hal ini dilakukan dalam keadaan tidak sadar, ya cuma akan jadi sebuah kesalahan.
Jadi bagaimana cara menggunakan snapshot dengan benar?
Pertama, pastikan kamu paham struktur kalimat yang benar.
Kedua, gunakan snapshot hanya untuk momen-momen yang ingin kamu tekankan. Seperti sambal dalam masakan: kalau terlalu banyak, lidah malah kesulitan merasakan bumbu aslinya. Semua harus pas, sesuai takaran.
Ketiga, baca karya dengan keras. Dengarkan ritmenya. Apakah snapshot yang kita buat menciptakan efek yang kita inginkan? Apakah pembaca akan merasakan 'jleb' yang kita maksud? Atau justru bingung?
Penulis Amerika, Cormac McCarthy, adalah master dalam teknik ini. Dalam novel "The Road," dia menulis dengan sangat minimalis:
"Dark. Cold. Silent shapes of ash."
Tiga frasa pendek yang menciptakan gambaran dunia post-apocalyptic yang mengerikan. Dari hal yang minimalis tersebut justru memberikan banyak gambaran dalam pikiran atau imajinasi pembaca.
Ya ... pada akhirnya, snapshot adalah tentang keberanian. Keberanian untuk keluar dari aturan baku demi menciptakan sesuatu yang lebih kuat, lebih hidup. Seperti kata Ernest Hemingway, "Prose is architecture, not interior decoration." Kadang, untuk membangun sesuatu yang kokoh, kamu perlu melepas beberapa ornamen yang tidak perlu.
Jadi, ketika kamu menulis adegan hujan yang mengguyur kota di malam hari, jangan takut untuk menulis: "Hujan. Lebat. Membasahi aspal hingga mengkilap seperti cermin." Biarkan kata "Lebat" berdiri sendiri. Biarkan dia menusuk. Biarkan pembaca merasakan tetesan air di kulit mereka sendiri.
Itulah 'seni'-nya. Bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu persis apa yang sedang kita lakukan saat menulis!
Malang, -