Tentunya kita sering menemukan tips dan trik untuk memberikan ruh pada karya. Kenyataannya kita jarang sekali mendengar komentar seperti ini; "Wah, naskahnya bagus! Seperti hidup dan memiliki ruh." 10 banding 1 mungkin, atau bahkan tidak ada sama sekali dari 10 komentar.
Bagaimana dengan komentar seperti ini; "Bagus, saya tersentuh sekali dengan naskah anda." Saya kira komentar ini lebih sering muncul, bukan?
Ok, berbicara tentang ruh sebuah karya adalah samar. Artinya, ruh sebuah karya tidak benar-benar ada. Kita hanya bisa mengatakan seperti ada ruhnya di dalam karya ini pun itu.
"Don't tell me the moon is shining; show me the glint of light on broken glass."
— Anton Chekhov
Kutipan legendaris dari Chekhov ini mengingatkan kita: jangan sekadar memberitahu, tapi tunjukkan. Dan cara paling ampuh untuk "menunjukkan" adalah dengan menyentuh indera pembaca.
Kemampuan seorang penulis untuk menyentuh kelima indera pembaca-lah yang sebenarnya dimunculkan. Sentuhan-sentuhan ini mengakibatkan pembaca menjadi reaktif terhadap sebuah karya. Simpul pertemuan penulis dengan pembaca, terdapat pada persinggungan indera, dan di titik ini yang disimpulkan dengan seperti ada ruhnya.
Stephen King pernah mengatakan bahwa deskripsi yang baik dimulai dengan visualisasi yang jelas dalam pikiran penulis, kemudian bergerak melampaui gambar untuk menyentuh indera lainnya. Inilah yang membedakan cerita yang "dibaca" dengan cerita yang "dialami".
Bagaimana cara membuat sentuhan kepada lima indera pembaca?
Kebanyakan, penulis meletakkannya hanya pada deskripsi. Kebanyakan juga, pemula hanya bersinggungan tidak lebih dari dua indera; indera penglihatan dan indera pendengaran.
Contoh:
Kerutan di ujung kelopak matanya, semakin tampak jelas saat tertawa lebar. Berulang terbahak, berulang pula terbatuk. Hingga suaranya parau, hampir tak terdengar.
Di dalam contoh tersebut, terdapat dua persinggungan indera:
- Visual: kerutan di kelopak mata, tertawa lebar
- Auditori: terbahak, terbatuk, suara parau
Acap kali persinggungan seperti ini muncul berulang-berulang pada karya penulis pemula. Hanya dua indera, tidak lebih. Padahal, pembaca sangat membutuhkan sentuhan pada lima inderanya.
"The best smell in the world is that man that you love."
— Jennifer Aniston
Meski kutipan ini sederhana, ia mengingatkan kita bahwa indera penciuman memiliki kekuatan emosional yang luar biasa. Namun seringkali terlupakan dalam narasi kita.
Kelima indera yang perlu kita sentuh adalah: penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Yang terpenting, sentuhan ini harus natural dalam alur cerita. Jangan memaksakan kelima indera muncul dalam satu paragraf. Sebarkan sepanjang narasi, biarkan mengalir seperti pengalaman nyata.
Nah, sebelum kita lanjutkan, yuk kita coba buat deskripsi yang memiliki sentuhan komplit. Komplit bukan berarti lima sentuhan dalam satu deskripsi, melainkan lima sentuhan dalam satu cerita utuh.
Pulang
Kerutan di ujung kelopak matanya semakin tampak jelas saat tertawa lebar. Berulang terbahak, berulang pula terbatuk. Hingga suaranya parau, hampir tak terdengar.
Nenek memelukku erat. Bau kemenyan dan minyak kayu putih melekat di bajunya yang sudah kusut—aroma yang selalu kubawa dalam mimpi ketika jauh dari rumah. Tangannya yang kasar—seperti kulit pohon yang retak—menepuk-nepuk punggungku pelan. Hangat. Menenangkan.
"Masuk, masuk. Nenek sudah masakin klepon kesukaanmu."
Di mulutku masih tersisa rasa pahit kopi kereta tadi pagi. Tapi begitu gigit klepon hangat itu, gula merah meleleh di lidah. Manis. Lengket. Seperti masa kecil yang kukira sudah hilang, tapi ternyata masih tersimpan di tangan keriput Nenek.
Perhatikan bagaimana setiap sentuhan indera muncul secara natural dalam cerita "Pulang" di atas:
- Penglihatan: kerutan kelopak mata, tertawa lebar, baju kusut
- Pendengaran: terbahak, terbatuk, suara parau
- Penciuman: bau kemenyan dan minyak kayu putih
- Peraba: pelukan erat, tangan kasar, tepukan pelan, klepon hangat
- Perasa: pahit kopi, manis dan lengket gula merah
Tidak dipaksakan, kan? Pembaca tidak hanya "membaca" tentang kepulangan, tetapi "mengalami" kepulangan itu sendiri.
"We do not remember days, we remember moments."
— Cesare Pavese
Dan momen yang paling diingat adalah momen yang menyentuh indera kita. Itulah mengapa film dengan score musik yang bagus terasa lebih hidup. Itulah mengapa restoran dengan aroma khas selalu dikenang.
Tugas kita sebagai penulis adalah menciptakan momen-momen sensorik dalam kata-kata. Bukan sekadar menceritakan, tapi mengajak pembaca merasakan.
Jadi, yakin karyamu sudah hidup?
Coba periksa lagi: berapa indera yang sudah kamu sentuh dalam cerita terakhirmu? Jika masih dua atau tiga, saatnya memperluas jangkauan. Pembaca tidak hanya ingin tahu ceritamu—mereka ingin mengalaminya.
Dan pengalaman yang lengkap, adalah pengalaman yang melibatkan kelima indera.
Malang, -