Jangan lupa untuk follow, like, komen dan share Instagram kami ke teman-teman kalian, ya! Instagram, here

OPINI | Stop Jadi Penulis Pemula yang Berlindung di Balik Kalimat Langsung

Ada perdebatan menarik tentang penggunaan kalimat langsung dalam sebuah cerpen yang membuat saya pada akhirnya memiliki pemikiran tersendiri; Dialog langsung atau kalimat langsung dalam sebuah cerita bukan sesuatu yang wajib, dan sebaiknya dimusnahkan saja jika bisa diwakili dengan narasi.

"The dialogue is generally the worst part of fiction. It's usually badly written." - Raymond Carver

Kata-kata Carver ini sedari dulu cukup menampar saya. Ketika di awal-awal menulis, saya merasa "keenakan" berlindung di balik tanda petik atau kalimat langsung. Cukup mudah. Tinggal buat tokoh bicara, bertukar kata, lalu selesai. Tapi ternyata hal ini tanpa kita sadari adalah tindakan penipuan terhadap pembaca. Pembaca di-PHP dengan halaman yang tanpa substansi. Bayangkan saja, berapa lembar kertas terbuang hanya untuk menampung percakapan yang sebenarnya bisa diringkas dalam satu paragraf narasi yang kaya makna!

Saya ingat ketika awal-awal menulis cerita tentang perpisahan di sebuah stasiun. Saya menulis seperti ini: 

"Kamu yakin harus pergi?" tanyanya. 

"Iya, saya harus pergi," jawabku

"Kapan kamu kembali?" 

"Saya tidak tahu." 

"Aku akan menunggumu." 

"Jangan. Kamu tidak perlu menunggu." 

Lima baris dialog yang nggak penting! Nggak ditulis pun juga tidak mengurangi apapun, kan?

Coba kalau ditulis dengan sebuah narasi atau kalimat tidak langsung, mungkin bisa jadi seperti ini:

Di peron itu, pertanyaan-pertanyaannya datang bertubi. Tentang kepastian, tentang waktu, tentang janji. Saya hanya menggeleng untuk semuanya. Dan ketika dia bilang akan menunggu, saya melihat matanya yang terlalu percaya—yang membuat saya tidak sanggup berkata jujur bahwa saya mungkin tidak akan pernah kembali.

Bagaimana? Jadi lebih banyak ruang untuk pembaca merasakan sendiri bagaimana percakapan itu terjadi, bukan? Pembaca tidak perlu didikte. Mungkin inilah yang dimaksud dengan memberikan ruang imajinasi seluas-luasnya kepada pembaca. Kita bisa membiaarkan isi dialog itu tertulis di dalam ruang imajiner pembaca. Jangan dikekang dengan tanda petik kalimat langsung yang kesannya mematikan imajinasi pembaca.

Kalimat langsung hanya bisa atau diperbolehkan untuk dipakai hanya untuk 2 kebutuhan saja: Pertama, untuk mengatur tempo cerita—mempercepat atau memperlambat. Kedua, dialog kunci yang benar-benar tidak bisa digantikan dengan sebuah narasi.

Saya teringat cerpen favorit saya dari Hemingway, "Hills Like White Elephants". Hampir seluruhnya dialog, tapi setiap kata adalah dialog kunci. Tidak ada yang terbuang. Setiap kalimat menyimpan tension. Itu contoh penggunaan dialog yang sempurna—ketika memang tidak bisa digantikan dengan cara lain.

"Write what is true, not what is factual. Truth and fact are not the same thing." - Ernest Hemingway

Saya berikan contoh lagi ya, biar semakin paham dengan apa yang sudah saya tuliskan di paragraf-paragraf sebelumnya.

Contoh sebuah cerita yang penuh dialog—kalimat langsung yang tidak memberikan fungsi apapun.

"Dimana anda berada saat itu?" tanya beliau.

"Saya ada di lokasi kejadian." Jawab saya kaku.

"Bagaimana kronologi kejadiannya?" 

Dan seterusnya. 

Coba bandingkan dengan versi narasinya: 

Masih saja dengan sorot mata yang tajam, beliau mencoba menguliti isi kepala saya. Semua pertanyaan mencuat dengan lugas, tanpa keramahan yang dibuat-buat. Meski terkesan gahar, namun garis wajahnya tetap menyimpan kehangatan—yang saya inginkan. Ah, kami memang pernah bersama cukup lama dulu. Dan kehangatan itu tak pernah berubah.

Yang versi narasi jauh lebih memiliki tension. Ada sorot mata tajam, ada kehangatan tersimpan di garis wajah, ada kenangan masa lalu yang mengambang. Semua itu terasa lebih intim ketimbang sekedar tanya-jawab yang tertulis jelas. 

Dari sini kita belajar bahwa narasi yang baik justru bisa menyimpan lebih banyak lapisan emosi daripada dialog langsung yang eksplisit.

Mungkin memang benar, kita—saya khususnya—terlalu takut membiarkan pembaca berimajinasi. Saya merasa harus menjelaskan semuanya, harus menulis semua kata yang terucap. Padahal pembaca punya kepala sendiri, punya ruang imajiner yang luas. Kenapa tidak saya biarkan mereka mengisi sendiri kemungkinan-kemungkinan dialog yang ada? Kenapa saya tidak percaya pada imajinasi mereka?

"A writer should concern himself with whatever absorbs his fancy, stirs his heart, and unlimbers his typewriter." - E.B. White

Saya jadi teringat pengalaman pribadi saya ketika membaca "Senyum Karyamin" karya Ahmad Tohari beberapa tahun lalu. Hampir tidak ada dialog di sana, tapi saya bisa merasakan setiap percakapan yang tersirat. Saya bisa mendengar suara Karyamin, meski tidak tertulis langsung. Itulah kekuatan narasi. Saya masih ingat bagaimana saya terbawa suasana cerita itu, bagaimana saya bisa merasakan setiap emosi tokohnya tanpa perlu membaca deretan dialog ber-tanda petik. Saya percaya, bahwa cara tersebut adalah karena Tohari percaya pada pembacanya. Dia tidak merasa perlu mendikte setiap kata yang diucapkan tokohnya.

Bagaimana dengan ruh cerita? 

Ruh itu bukan soal ada tidaknya dialog atau kalimat langsung. Ruh sebuah cerita itu muncul dari persinggungan antara karya dengan pembaca. Ketika kelima indera pembaca tersentuh, di situlah terjadi interkoneksi. Ketersambungan itulah yang membuat cerita hidup. Ruh kekaryaan ada di dalam resonansi yang terjadi antara apa yang ditulis dengan apa yang dirasakan pembaca.

"The role of a writer is not to say what we can all say, but what we are unable to say." - Anaïs Nin

Kutipan Nin ini mengingatkan saya bahwa tugas penulis bukan sekadar menyalin percakapan nyata ke atas kertas. Tugas kita adalah menangkap esensi dari percakapan itu—hal-hal yang tidak terucapkan, hal-hal yang tersembunyi di balik kata-kata. Dan itu justru lebih mudah dilakukan lewat narasi daripada dialog langsung.

"Writing dialogue isn't about replicating real-life conversations. It's about giving an impression of them… and also of improving them." - Monica Wood

Monica Wood - Dialog bukan untuk mereplikasi kehidupan nyata, tapi untuk memberikan kesan—dan memperbaikinya. Dan kadang, cara terbaik untuk memberikan kesan percakapan yang hidup justru bukan dengan menuliskannya secara langsung, melainkan dengan menarasikannya dengan penuh emosi dan detail sensori yang kuat.

Saya jadi ingat kata-kata guru menulis saya dulu;

"Jangan biarkan dialog mengisi halaman. Biarkan emosi yang mengisinya." 

Sekarang saya paham maksudnya. Emosi tidak selalu butuh tanda petik untuk berbicara. Kadang, justru dalam kesunyian tanda petik itulah emosi berbicara paling keras.

Mungkin inilah yang dimaksud dengan menjadi penulis yang lebih dewasa. Bukan soal menulis lebih banyak, tapi menulis lebih bijak. Memilih setiap kata dengan pertimbangan, memutuskan kapan harus bicara langsung dan kapan harus membiarkan narasi yang berbicara. Seperti dalam kehidupan nyata, kadang hal yang tidak terucapkan justru lebih bermakna daripada hal yang diucapkan dengan jelas.

Cerita yang baik bukan cerita yang menjelaskan segalanya, tapi cerita yang mengundang pembaca untuk ikut menciptakan maknanya sendiri.

Malang, - 

Post a Comment

Ratakiri Selamat datang di Whatsapp chat
Halo, apa kabar?
Klik di sini ...