Jangan lupa untuk meninggalkan komen dan share ke teman-teman kalian, ya!

OPINI | Stop! Cukup Sekali Seumur Hidup Ikut Lomba Antologi

Media sosial kita dibanjiri pengumuman lomba penulisan cerpen atau puisi yang hasilnya akan dibukukan menjadi antologi. Sekilas terlihat menjanjikan: kesempatan untuk dipublikasikan, nama tercantum di buku ber-ISBN, bahkan sertifikat yang bisa dipajang. Bagi penulis pemula, ini seperti tiket emas menuju dunia kepenulisan profesional.

Tapi tunggu dulu. Mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi. 

Stephen King pernah mengatakan, "If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot." 

Sayangnya, lomba antologi semacam ini tidak mengajarkan keduanya dengan benar.

Setelah karya "lolos seleksi", biasanya ada email pemberitahuan yang isinya kurang lebih begini: "Selamat! Karya Anda terpilih untuk masuk antologi kami. Sebagai bentuk dukungan, peserta terpilih diwajibkan membeli minimal 5-10 eksemplar buku." Belum lagi ada yang meminta biaya administrasi, biaya editing, atau biaya ini-itu. Penulis yang tadinya bangga karyanya diterima, tiba-tiba harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah.

Model bisnis di balik fenomena ini sebenarnya sederhana dan cerdas—dari sudut pandang penyelenggara. Semakin banyak penulis yang masuk antologi, semakin banyak pembeli terjamin. Jika satu antologi memuat 50 penulis dan masing-masing wajib beli 5 buku, itu sudah 250 eksemplar terjual sebelum buku beredar ke toko. Penerbit untung duluan, bahkan sebelum ada satu pun pembaca umum yang tertarik.

Atau kalau-pun gratis, secara bisnis perhitungannya cukup sederhana: semakin banyak nama penulis yang masuk ke dalam antologi, maka potensi penjualannya semakin besar pula. Lalu apa yang diperoleh penulis? Kebanggan semu!

Karena tujuannya adalah mengumpulkan sebanyak mungkin kontributor, proses seleksi pun jadi longgar. Hampir semua karya yang masuk akan "lolos". Tidak ada kurasi ketat, tidak ada standar editorial yang tinggi. Yang penting kuota terpenuhi, buku bisa cetak, dan target penjualan ke penulis tercapai. Ini bukan tentang kualitas karya, ini tentang kuantitas penjualan.

Lalu apa dampaknya bagi penulis pemula? Yang paling merugikan adalah hilangnya kesempatan untuk belajar. Tanpa proses kurasi yang ketat, penulis tidak mendapat feedback berkualitas. Tidak ada editor yang memberi tahu bahwa plot cerpen mereka berlubang, karakter flatnya kurang depth, atau dialog yang ditulis terasa kaku dan tidak natural. Tidak ada saran tentang teknik show don't tell, pacing, atau struktur naratif yang lebih kuat. Kesalahan ejaan dan tata bahasa yang seharusnya dikoreksi malah lolos dan mengendap jadi kebiasaan buruk.

Penulis pemula justru kehilangan proses editorial yang edukatif—proses bolak-balik revisi yang seharusnya melatih kemampuan mereka melihat karya dari sudut pandang pembaca. Mereka kehilangan mentorship dari editor berpengalaman yang bisa membimbing mereka berkembang. Yang lebih parah, mereka mendapat false validation: merasa sudah jadi "penulis buku" padahal kualitas tulisan mereka belum tentu berkembang sama sekali.

Akibat jangka panjangnya, penulis stuck di level yang sama bertahun-tahun. Mereka mengira gaya menulis mereka sudah "jadi", padahal masih banyak yang perlu diasah. Mereka mengumpulkan sertifikat dan buku antologi, tapi tidak pernah benar-benar maju sebagai penulis. Portofolio mereka penuh dengan publikasi di antologi yang tidak selektif, yang ironisnya kurang dihargai di dunia sastra profesional.

Maka dari itu, saran saya sederhana: cukup sekali seumur hidup mengikuti lomba semacam itu. Anggap saja sebagai pengalaman pertama untuk merasakan karya dicetak dalam buku fisik. Setelah itu, sadar bahwa ada cara yang jauh lebih produktif untuk berkembang sebagai penulis.

Jauh lebih baik menggunakan blog atau website pribadi sebagai rumah untuk karya-karya kita. Di sana, kita punya kontrol penuh atas format, panjang, dan gaya penulisan. Tidak ada algoritma yang memaksa kita menulis dengan cara tertentu. Arsip karya sepenuhnya milik kita, dan bisa menjadi portofolio profesional yang kredibel. Bonus tambahannya, blog pribadi bisa menghasilkan passive income dari Google AdSense, Monetag, atau Adstera. Kita dibayar karena memberi nilai kepada pembaca, bukan dibayar untuk membeli produk sendiri.

Platform seperti Medium juga pilihan yang sangat baik. Ekosistem pembaca di Medium cenderung lebih serius, mencari konten berkualitas dan mendalam, bukan sekadar hiburan cepat.

Tapi saya tidak menyarankan platform seperti Wattpad, Fizzo Novel, atau Dreame. Platform-platform itu punya jebakan tersendiri. Penulis terpaksa mengikuti formula cerita yang laku: CEO posesif, kontrak nikah, reinkarnasi balas dendam. Kreativitas dikorbankan demi algoritma dan trending tags. Dituntut update cepat demi engagement, tidak ada waktu untuk riset atau revisi mendalam. Chapter dibuat pendek-pendek dengan cliffhanger demi coins dan views. Kualitas tulisan stagnan karena fokus ke kecepatan produksi. Penulis jadi pabrik konten, bukan seniman yang berkembang.

Di blog atau Medium, pembaca bisa memberikan feedback langsung melalui komentar. Ini feedback organik dan genuine dari orang yang benar-benar tertarik dengan karya kita. Kita bisa diskusi, tanya jawab, dapat perspektif baru. Bisa posting lebih sering, eksperimen dengan gaya berbeda, dan langsung melihat karya mana yang resonan dengan pembaca. Proses belajar jadi jauh lebih cepat dan terukur.

Tapi jika memang ingin mencoba jalur publikasi profesional, justru lebih baik langsung kirim ke media yang jelas dikurasi dengan baik dan benar. Kirim ke Basabasi.co, cerpen Kompas Minggu, Jurnal Sajak, atau media sastra lain yang kredibel. Ini adalah leap yang seharusnya dilakukan penulis pemula yang serius.

Proses seleksi di media profesional adalah proses belajar itu sendiri. Ditolak? Itu feedback bahwa tulisan kita belum layak standar profesional. Diterima? Validasi genuine dari editor berpengalaman. Direvisi? Kita dapat pembelajaran langsung dari proses editorial yang sesungguhnya. Dari sini kita tahu standar industri yang sebenarnya, bukan standar buatan yang longgar demi kepentingan bisnis.

Mindset yang benar adalah ini: daripada bayar untuk dimuat di antologi asal-asalan, lebih baik gratis ditolak berkali-kali oleh media profesional sambil terus mengasah kemampuan. Setiap penolakan adalah pembelajaran gratis untuk belajar menulis lebih baik. Jalurnya memang lebih panjang dan tidak instant, tapi jauh lebih bermakna untuk karir kepenulisan jangka panjang.

Jadi, jika kamu penulis pemula, jangan terjebak dalam siklus mengumpulkan sertifikat penulis antologi yang tak bermakna. Cukup sekali saja untuk pengalaman. Setelah itu, bangun fondasi sendiri melalui blog pribadi atau Medium, dan berani mengirim karya ke media profesional yang benar-benar menghargai kualitas. Investasi waktu dan energi untuk hal-hal itu akan jauh lebih berharga daripada berkali-kali membeli buku hasil antologi yang pada akhirnya hanya menumpuk di lemari.

Menulis adalah perjalanan panjang. Pilih jalan yang membuat kita terus belajar dan berkembang, bukan jalan yang hanya memberi ilusi kesuksesan instant.

Malang, - 

Post a Comment

Ratakiri Selamat datang di Whatsapp chat
Halo, apa kabar?
Klik di sini ...