Sepanjang jalan menatapiku yang sedang berlari, kuyup, dan tak beralas kaki. Penuh tanya pada mata mereka. Beberapa tak sempat meneguk air yang sudah sampai di ujung sedotan, menelan makanan yang telah lumat di dalam mulut, dan bahkan mengecup bibir kekasih di hadapannya yang telah rekah dengan mata terpejam.
Pada beberapa sudut yang terlewati, segerombol pemuda menghentikan koor nyanyiannya yang jelas-jelas tidak enak untuk di dengar. Di sudut yang lain, menghentikan sejenak perkelahian yang tidak berimbang. Semua karena sekelebat kehadiranku; berlari dengan acuh pada tajam dan kerasnya ceruk luang aspal jalan yang mengelupas. Daster putih dengan bercak darah pada bagian atas lutut, lampu jalan berkedip pertanda sudah aus, gerimis yang tak henti, dan sesekali semburan air dari genangan yang terlewati kendaraan dengan kecepatan tinggi, seolah menjadikan episode berlariku ini menjadi episode yang paling dramatis.
Setelah tikungan, pasti aku akan mendapati kerumunan yang sedang menyaksikan bayi mungil di dalam kardus. Tanpa sehelai kain yang menyelimutinya. Tanpa keterangan apa-apa di sekitar kardus yang mulai menggeliat berat karena rintik gerimis yang tak henti. Pastinya tanpa siapa-siapa saat pertama kali ditemukan.
Dan, aku harus segera mengambilnya. Menerobos kerumunan itu. Entah mereka mau menerima kehadiranku atau tidak. Yang jelas aku akan segera membawa bayi mungil itu ketempat yang lebih aman dan nyaman; pelukan dan padatnya dada seorang ibu. Ah... syukur, kerumunan itu belum terlalu banyak. Hanya 5 orang dewasa dan 3 anak-anak. Sekuat tenaga aku mempercepat kehadiranku di sana. Tanpa permisi aku menerobos. Pastinya, tatapan mereka sama persis dengan gaya mata orang-orang di jalanan yang aku lewati tadi--melebar dan penuh tanya.
Dengan cekatan menggamit tengkuk dan pantat bayi mungil itu. Mendekap sehangat mungkin, meski tahu daster basahku ini malah akan memberikan rasa dingin baginya. Biarlah, yang paling penting adalah membawanya kembali pulang. Melumuri sekujur tubuhnya dengan minyak telon dan kayu putih. Kemudian membebat dengan popok, "grita, "baju hangat, kaus tangan, kaus kaki, dan tak lupa membebatnya lagi dengan beberapa lembar kain agar sangat hangat.
Tubuh mungil itu terasa lemah dalam pelukan. Wajahnya pucat. Bibirnya tak mengatup, berwarna biru. Tanpa sadar, kupanjatkan doa berkali-kali pada-Nya, sembari berlari secepat yang aku bisa. Sesekali mengusap rambut yang juga kuyup. Mencoba menggugah kesadaran dengan selalu memanggil namanya.
***
Satu bulan sebelumnya. Aku terpekur dalam kenyataan yang sangat pilu. Dia, belum bisa mengawiniku di hadapan seorang penghulu dan kemudian mencatatkan dengan sah sesuai aturan negara. Nikah siri, hanya itu yang sanggup dilakukannya. Dalam kondisi serba sulit, hanya anggukan setuju. Entah mesin pembunuh apa yang dipoporkan tepat di samping kening, hingga mampu menaklukan naluri pemberontakku yang telah ada sejak memasuki umur lima belas tahun. Tidak selesai sampai situ saja. Dia juga menginginkan janin yang telah memasuki usia delapan bulan di dalam perutku tak bersama lagi sesaat setelah lahir, "Titipkan pada seseorang yang kita kenal, atau membiarkan orang lain memungutnya kala pagi menyeruak", lagi-lagi hanya anggukan yang mampu aku berikan sebagai jawaban. Bukan karena cinta, ini hanya soal rasa yang terkubur dalam padamnya asa.
Malam ini, setahun sebelumnya. Aku lari dari rumah. Karena tidak tahan mendapati ibuku tiap malam menjadi 'ladang' bagi 'petani' yang berbeda tiap harinya. Inilah satu jalan yang paling memungkinkan untuk biaya sekolahku; alasan beliau saat pertama kali mempersembahkan elok tubuhnya pada orang selain Bapak--Lurah. Bapakku? Pergi digondol wanita jalang. Si jalang yang tiap harinya menggunakan jasa ojek Bapak untuk bekerja di salah satu tempat karaoke paling ternama di kota kami. Episode ini pernah terbersit dalam pikiranku hampir 5 tahun yang lalu. Slide demi slide sama persis dengan yang terjadi saat ini. Aku memutuskan lari dari rumah dengan tanpa penyelesaian apapun sebelumnya. Berharap pada hal lain selain diri sendiri untuk menguatkan. Dia datang untuk itu. Seorang dewasa dengan kacamata minus memperkenalkan diri. Baris gigi yang rapi dan bibir sedikit tebal itu tak pernah lelah memberikan serangkaian motivasi untuk diriku bangkit. Tutur katanya santun. Sorot matanya hangat dan teduh. Membuatku merasa nyaman. Aku jatuh hati padanya hanya dalam kurun waktu beberapa jam. Sebegitu murah dan mudahkah rasa cintaku ini? Yang jelas cinta tak menjadi agung lagi kala manusia mampu mengarahkan jalannya.
Langkah kaki melanjutkan perkenalan yang penuh dengan benih cinta. Tanpa tujuan pasti kemana arahnya. Rintik gerimis menusuki batok kepala yang mulai bebal oleh cinta. Deru motor dan mobil melintas seolah melempar tali penyelamat untuk kami yang sedang terhanyut bahkan larut. Tanpa sadar, pintu losmen tepat berada di depan kami. Tak ada kata terucap. Bersegera masuk, untuk menuntaskan hasrat. Kami atau cuma aku yang terjebak? Lembut jarinya menelusuri tiap jengkal tubuh, berpacu degup dan desah yang mengiringi.
Sejenak tersadar, nurani berbisik menggamit kewarasan. Aku meminta ijin padanya untuk sementara waktu ke kamar mandi yang berada satu ruang dengan kamar. Wajahnya yang telah memerah karena birahi telah mencapai ubun-ubun terlihat sedikit kecewa. Aku tak perduli. Sejenak menyendiri di kamar mandi, mencoba menarik simpul-simpul di masa yang akan datang. Sekedar ingin tahu, apa yang akan terjadi nanti bila aku melanjutkan nista bersamanya.
Tergambar jelas slide berjalan mundur dari waktu yang akan datang.
Tentang bayi mungil yang selalu kupanggil namanya agar tersadar// doa yang mengalun saat mendekap dan berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkannya// seonggok bayi di dalam kardus tanpa sehelai benang// kerumunan orang setelah tikungan// diriku yang kuyup berlari di sepanjang jalan// tentang pembiaran kepada orang lain untuk memungutnya kala pagi menyeruak// Tentang nikah siri.
Agh! Aku tak tahan lagi. Plak! Tepat mengenai pipinya.
Tapak tangan ini benar-benar telah kuat menyuarakan semuanya. Segera mengemasi baju yang telah setengah tanggal. Berlari sekuatnya meninggalkan lembah gelap dan nista. Kembali pulang. Dengan harapan mendapati pelukan ibunda tercinta. Atau bahunya yang kokoh untuk sejenak bersandar.
Sesampainya di rumah, aku harus mengantri sejenak. Mungkin satu atau dua jam lagi, karena masih ada yang sedang 'bercocok tanam'.
Malang, -