Jangan lupa untuk meninggalkan komen dan share ke teman-teman kalian, ya!

CERPEN | << Rewind

Serasa luruh beban di hati, saat menuntaskan kalimat yang aku tulis. Jari-jari terasa kaku melipat lembaran itu. Tak lupa menyelipkan dua lembar foto di dalamnya; foto dua anak yang sedang bersepeda, dan satunya foto resmi yang aku ambil dari surat nikah. Ujung lipatan lembaran basah, karena keringat yang selalu keluar dari telapak tangan kala gelisah. Sejenak kemudian menggenapi keberanian, mencoba memberikan selembar kertas yang aku minta sebelumnya. 

Tampak senyum manis dari balik kumis tebal milik sosok dengan beberapa 'strip' kepangkatan di bahunya. Ia dengan ramah menerima lipatan yang sedikit lusuh karena keringat dan kekacauan saat melipat.

“Maaf, sebelum Bapak membukanya, saya mau ijin ketoilet sebentar.” Sergahku, karena sedang tidak benar-benar siap mendapati respon beliau kala membacanya.

“Silahkan.”

Masih dengan senyum tipis yang santun.

Tak tahu apa yang akan aku lakukan di dalam sini--Toilet. Aku tidak sedang ingin pipis atau berak.

Keringat dingin terus membasahi kening dan telapak tangan. Memendar pandangan pada tiap sudut, seolah mencari pembenaran tentang perbuatanku tiga bulan yang lalu. Memuji diri tentang keberanian yang baru saja aku perbuat. Mengutuki kubang kakus yang bentuknya sama persis dengan kubangan di belakang rumah; hanya beda ukuran dan penggunaannya. Di sini kubangan kakus itu dikencingi. Sedangkan yang di belakang rumah mengencingi kami dengan segala macam dusta dan dendam.

Pada dinding kubangan itu aku dan bapaknya merenda kasih terlarang. Berulang tiap malam, hingga terlahir keduanya--kembar. Tidak dari rahimku, tapi dari istrinya. Timbul tanya dan cemburu yang bergolak seolah ingin membuncah.

“Kenapa harus dari rahimnya? Bukankah kau pernah bilang, bahwasanya sudah hampir satu tahun kau tak menyentuhnya? Maka dari itu aku merelakan diri kau cumbui, karena aku yakin takkan lama lagi bersanding sah denganmu. Khilaf? Bohong! Aku akan membalas semua perbuataanmu, Mas!”

Pada satu kesempatan aku membunuh istrimu. Kau tahu, tapi berpura-pura bahagia mendapati hal ini. Seolah kau juga berharap segera bersanding sah denganku. Pada kesempatan lain, kau terlambat tahu tentang kedua putrinya.


***


Keringat dingin terus membasahi kening dan telapak tangan. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan di dalam sini--Toilet. Aku tidak sedang ingin pipis atau berak.

Masih dengan senyum tipis yang santun.

“Silahkan.”

Sergahku, karena sedang tidak benar-benar siap mendapati respon beliau kala membacanya.

“Maaf, sebelum Bapak membukanya, saya mau ijin ketoilet sebentar.”

Tampak senyum manis dari balik kumis tebal milik sosok dengan beberapa 'strip' kepangkatan di bahunya, kala menerima lipatan yang sedikit lusuh karena keringat dan kekacauan saat melipat. Sejenak kemudian menggenapi keberanian, mencoba memberikan selembar kertas yang aku minta sebelumnya. Ujung lipatan lembaran basah, karena keringat yang selalu keluar dari telapak tangan kala gelisah. Tak lupa menyelipkan dua lembar foto di dalamnya; foto dua anak yang sedang bersepeda, dan satunya foto resmi yang aku ambil dari surat nikah. Jari-jari terasa kaku saat melipat lembaran itu. Serasa luruh beban di hati, saat menuntaskan kalimat yang aku tulis;

“A-Y-N-H-U-N-U-B-M-E-M H-A-L-E-T A-Y-A-S”

Malang, -


Post a Comment

Ratakiri Selamat datang di Whatsapp chat
Halo, apa kabar?
Klik di sini ...