Menik berusaha bangun sepagi mungkin, meski semalam tekun nonton pagelaran wayang di kampung sebelah hingga pukul 01.00 dini hari. Matanya masih terasa berat, hingga membuatnya tetap memejam saat melakukan aktifitas rutin semacam melepas baju dan kemudian beranjak ke kamar mandi. Dikaitnya gayung penuh air, "byur!" seketika matanya melebar. Dingin tajam merasuk hingga menimbulkan ngilu pada tulang-tulangnya. Menik tak peduli. Pagi ini ia harus segera berangkat ke sekolah. Jangan sampai terlambat seperti kemarin.
Pagi yang kepagian. Bocah perempuan dengan kresek hitam berisi pensil dan buku pada genggam tangannya, memiuh-miuh siapapun yang mendapati kelebatnya. Tampak bersemangat, dan ini pemandangan pagi yang menyedihkan sekali. Namun Menik tak pernah peduli. Ia akan selalu melempar senyum selebar-lebarnya, dan mengucap, "selamat pagi!" sambil memperlihatkan gigi dan mata bening yang cantik sekali.
Suara bel sekolah berbunyi. Semua murid masuk ke kelas masing-masing. Salah satu bangunan difungsikan sebagai Aula utama untuk acara-acara pertemuan. Jika tidak ada acara, ruangan tersebut akan disekat menjadi dua kelas. Beberapa perlengkapan semacam soundsystem, balok panggung, dan podium ditumpuk pada bagian belakang salah satu kelas yang sudah dipasang sekat dari papan. Pada salah satu ruang kelas tersebut Menik mengikuti pelajaran.
Seperti biasa, Ibu guru yang mengajar pada jam pertama akan memanggil satu persatu nama murid sesuai buku absensi, dan memang pada kenyataannya tidak ada nama Menik di sana. Setelah menandatangani buku absensi dan menutupnya, Ibu guru segera memulai pelajaran. Semua mata memperhatikan beliau dengan seksama, termasuk sepasang mata bening di balik celah podium dan 'soundsystem' di belakang kelas.
Malang, -