Ada yang aneh dengan cara kita memahami ruang belakangan ini. Kemarin saya lihat berita seorang perempuan joget di Gunung Rinjani. Tempat yang sakral buat masyarakat Sasak, dijadikan latar konten TikTok. Ini bukan kasus pertama. Feed media sosial penuh dengan orang-orang yang joget di pemakaman, tempat ibadah, lokasi bencana—seolah semua tempat adalah panggung yang sama.
Fenomena ini punya nama erosi boundary awareness. Hilangnya kepekaan terhadap batasan-batasan kontekstual yang selama ini mengatur perilaku sosial kita.
danah boyd (beliau tidak mau ditulis namanya dengan huruf kapital), peneliti media sosial, pertama kali bicara tentang "context collapse" sekitar awal 2000-an. Dia mengamati bagaimana media sosial membuat berbagai audiens yang biasanya terpisah—keluarga, teman kerja, kenalan—menyatu jadi satu di platform digital. "In a broadcast society, the contexts are more clear-cut. You know when you're talking to your boss versus your friends. But online, you have to imagine your audience because they're not physically present," kata boyd.
Michael Wesch, antropolog dari Kansas State University, melanjutkan pemikiran ini. Dia bilang konteks fisik dan sosial tradisional yang biasanya memberi petunjuk tentang perilaku yang pantas, kini kabur atau hilang di ruang digital. Yang tadinya masalah teknis tentang mengelola identitas, sekarang jadi krisis kepekaan: kita tidak tahu—atau tidak peduli—kapan dan di mana sesuatu pantas dilakukan.
Ada beberapa hal yang membuat boundary awareness ini terkikis. Pertama, nilai engagement. Likes, views, shares menjadi mata uang baru. Konten yang kontroversial atau mengejutkan lebih viral. Joget di tempat sakral punya shock value yang diterjemahkan jadi engagement tinggi. Setiap notifikasi memberi dopamine rush kecil yang bikin kita kembali lagi, mencari cara dapat lebih banyak perhatian. Dimana dalam hal ini akhirnya batasan etis jadi korban.
Kedua, ada yang disebut digital disinhibition effect. John Suler, psikolog, mengidentifikasi ini:
Orang cenderung berperilaku lebih bebas, kurang terkendali ketika berinteraksi lewat digital. Kita tidak langsung berhadapan dengan orang yang mungkin tersinggung. Kita cuma lihat kamera smartphone. Jarak ini menciptakan ilusi bahwa tidak ada konsekuensi sosial langsung.
Ketiga, pembiasaan. Semakin sering kita terpapar konten yang melanggar batasan, semakin normal hal itu terasa. Satu orang joget di tempat sakral tanpa konsekuensi, yang lain akan meniru. Normalisasi ini bikin batasan terus terkikis. Douglas Adams pernah bilang, "We are stuck with technology when what we really want is just stuff that works." Teknologi memang bekerja secara teknis, tapi dia juga mengubah cara kita bekerja sebagai makhluk sosial.
Keempat, budaya narsistik. Selfie dan konten yang berpusat pada diri sendiri memupuk perspektif "bagaimana ini membuat aku terlihat?" Sedangkan empati dan kepekaan butuh kemampuan keluar dari perspektif diri sendiri. Ketika self-focus dominan, boundary awareness jadi korban.
Bagaimana Dengan Dunia Sastra Kita?
Yang menarik, fenomena ini tidak cuma di media sosial. Dia merembes ke dunia sastra juga. Genre seperti autofiction atau creative nonfiction mengaburkan batas fiksi dan non-fiksi. Karl Ove KnausgÃ¥rd dengan My Struggle, Annie Ernaux dengan karya-karya memoarisnya—mereka menulis dengan detail sangat intim tentang kehidupan pribadi mereka dan orang-orang di sekitar mereka. Pembaca tidak bisa bedakan mana fakta mana fiksi. J.M. Coetzee pernah bilang, "All literature is autobiography, even if it denies it." Tapi ketika autobiografi tidak punya boundary jelas, ketika trauma pribadi dikemas untuk konsumsi publik tanpa filter, muncul pertanyaan etis:
Sejauh mana kita boleh mengekspos kehidupan kita—dan orang lain—demi seni?
Industri penerbitan kontemporer menuntut "authenticity" dan "vulnerability" dari penulis. Memoar yang laris adalah yang paling "raw" dan "honest"—eufemisme untuk mengekspos trauma dengan cara paling telanjang. Ada pasar untuk penderitaan. Buku seperti Educated atau The Glass Castle memang karya penting, tapi kesuksesan mereka menciptakan ekspektasi bahwa setiap penulis harus membongkar luka terdalam di halaman buku. Yang dulunya privat dan sakral kini jadi material yang diperjualbelikan.
Ada juga masalah jarak estetis yang hilang. Susan Sontag bicara tentang pentingnya ironi dalam seni—jarak estetis yang memungkinkan kita menikmati karya tanpa harus mengidentifikasikannya langsung dengan realitas. Tapi media sosial dan budaya call-out menuntut penulis bertanggung jawab atas setiap kata dalam fiksi mereka, seolah tidak ada perbedaan antara penulis dan narator, antara karya dan identitas personal. Ernest Hemingway bilang, "The writer's job is to tell the truth." Tapi kebenaran yang mana? Untuk siapa? Ketika boundary antara penulis sebagai individu privat dan persona publik runtuh, ruang untuk eksplorasi artistik jadi sempit.
Platform seperti Wattpad atau self-publishing lewat Amazon mendemokratisasi penerbitan. Ini positif—suara yang termarginalkan bisa terdengar. Tapi hilangnya proses editorial tradisional juga berarti hilangnya boundary antara draft pribadi dan karya siap publikasi. Tidak semua yang ditulis perlu dipublikasikan.
Proses editorial bukan cuma memperbaiki tata bahasa, tapi juga mempertimbangkan implikasi etis, dampak sosial, kualitas estetis. Ketika setiap orang bisa publikasi apa saja kapan saja, kita kehilangan boundary awareness tentang apa yang layak untuk konsumsi publik.
Erosi boundary awareness punya konsekuensi kolektif. Kita kehilangan ruang sakral—ruang yang khusus untuk keheningan, refleksi, penghormatan. Sakralitas butuh boundary untuk eksis. Kita juga kehilangan solidaritas sosial. Ketika kita tidak berbagi pemahaman tentang apa yang pantas dalam konteks tertentu, kita kehilangan fondasi kehidupan sosial. Konflik muncul bukan cuma soal perbedaan nilai, tapi ketidakmampuan memahami bahwa konteks berbeda butuh perilaku berbeda.
Ada kelelahan emosional juga. Dalam dunia tanpa boundary, semuanya jadi permukaan sama. Tidak ada privasi, tidak ada ruang untuk diam, tidak ada perbedaan antara panggung dan backstage. Ini menciptakan exhaustion. Elie Wiesel pernah bilang, "The opposite of love is not hate, it's indifference. The opposite of art is not ugliness, it's indifference. The opposite of faith is not heresy, it's indifference. And the opposite of life is not death, it's indifference."
Erosi boundary awareness, pada akhirnya, adalah bentuk indifference—ketidakpedulian terhadap konteks, perasaan orang lain, nilai-nilai yang lebih besar dari diri kita.
Tidak ada solusi sederhana. Tapi mungkin kita perlu pendidikan digital yang fokus pada etika kontekstual. Literasi digital tidak cukup kalau cuma mengajarkan cara pakai teknologi. Harus ada refleksi tentang kapan, di mana, bagaimana teknologi pantas digunakan. Konsekuensi yang konsisten juga penting—bukan sensor, tapi edukasi dan penegakan norma sosial. Kultivasi empati, kemampuan melihat dari sudut pandang orang lain, memahami mengapa konteks tertentu penting bagi komunitas tertentu.
Dalam sastra, perlu etika editorial yang diperbaharui untuk era di mana boundary publik dan privat kabur. Ini bukan soal sensor, tapi tanggung jawab—kepada penulis dan orang yang mungkin terpapar dalam karya. Dan pada akhirnya, setiap individu perlu bertanya: Apakah yang saya lakukan/ tulis/ bagikan ini pantas dalam konteks ini? Apakah ini menghormati nilai tempat dan orang yang terlibat? Apakah saya melakukan ini karena bermakna, atau sekadar untuk dapat perhatian?
Boundary bukan penjara. Dia adalah bentuk penghormatan—terhadap tempat, orang lain, nilai yang lebih besar dari ego individual. Ketika kita menari di puncak gunung sakral tanpa pertimbangkan maknanya bagi orang lain, ketika kita ekspos trauma keluarga di halaman buku tanpa consent, kita tidak sedang merayakan kebebasan. Kita sedang mengikis hal yang membuat kita manusiawi: kepekaan, empati, kemampuan hidup bersama dalam keragaman konteks dan nilai.
Erosi boundary awareness adalah gejala zaman kita—zaman di mana semua ruang jadi satu, privat dan publik bercampur, sakral dan profan tidak bisa dibedakan. Tapi dia tidak harus jadi takdir. Dengan kesadaran, pendidikan, komitmen kolektif, kita bisa kembalikan kepekaan terhadap konteks. Bukan untuk kembali ke masa lalu yang kaku dan represif, tapi untuk ciptakan masa depan di mana kebebasan dan penghormatan bisa hidup berdampingan.
Karena menjadi manusia bukan cuma soal kebebasan mengekspresikan diri. Dia juga soal kebijaksanaan untuk tahu kapan, di mana, dan bagaimana ekspresi itu pantas dilakukan.
Malang, -