Hujan pagi itu membasahi sepatu lusuh Wirang ketika dia terlambat lagi ke kantor. Payung yang dibawanya patah tepat saat dia keluar dari kos-kosan. Atasan membentak, gaji dipotong, dan saat pulang, kecopetan. Seperti biasa.
Malam harinya, Wirang duduk di bangku taman yang basah. Langit mendung seakan menertawakan nasibnya. Dia menengadah, matanya berlinang.
"Tuhan," bisiknya getir.
"Sekali saja. Sekali saja jadikan aku orang beruntung."
Suaranya terserap oleh kesunyian. Lalu, sesuatu berubah.
Pertama, hujan turun. Bukan hujan biasa—tetesan air manis yang berbau melati. Di sekitarnya, bunga-bunga kristal gula mulai berkecambah dari tanah basah, mekar dengan kelopak transparan yang berkilau. Langit terbuka seperti tirai, dan tiga sosok bersayap turun dengan anggun, duduk di sampingnya sambil tersenyum.
"Apa yang—" Wirang tersentak.
Salah satu bidadari dengan selendang keperakan meletakkan jari di bibirnya. "Shh... Kau sedang diselimuti doa-doa."
Wirang menatap tangannya sendiri. Ketika dia berpikir aku haus, segelas susu madu muncul di telapak tangannya. Ketika merasa agak dingin, jaket rajut hangat melilit tubuhnya tanpa suara. Ketika membayangkan sebatang rokok untuk menenangkan diri, rokok kretek terbaik muncul di sela jarinya, sudah menyala sempurna.
"Edan!," dia terkekeh. Bidadari-bidadari itu ikut tertawa kecil.
Hari-hari berikutnya adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Wirang berpikir tentang uang, kantongnya penuh. Dia membayangkan makanan lezat, hidangan tujuh bintang tersaji. Ketika merasa kesepian, burung-burung beo berbicara menemannya. Ketika bosan, awan-awan di langit membentuk pertunjukan boneka bayang-bayang yang menghibur.
Tapi keajaiban itu tak kenal lelah.
Suatu siang, Wirang sedang menikmati es krim rasa bulan (ya, bulan punya rasa—manis dengan sentuhan debu kosmik) ketika dia tanpa sengaja memikirkan seekor kuda. Seketika, kuda putih muncul di ruang tamunya, mengangkat kedua kaki depan dan memekik kencang seperti suara terompet yang memecahkan jendela.
"Tidak, tidak!" Wirang panik. Tapi saat dia berpikir "hilangkan gajahnya", yang muncul justru lima ekor kuda mini berwarna-warni yang berlarian di lantai kayu.
Dia mencoba berpikir kosong, tapi justru itu yang berbahaya. Pikiran kosong menghadirkan kehampaan literal—lubang hitam kecil muncul di sudut ruangan, menyedot debu dan kertas dengan dengung pelan.
Malam itu, Wirang duduk di tempat tidur dikelilingi oleh tumpukan barang-barang absurd hasil pikirannya yang mengembara. Ada tumpukan buku yang sampul halamannya terbuat dari kulit domba. Ada akuarium penuh ikan mas yang bernyanyi opera. Ada boneka beruang yang bisa berdiskusi tentang filsafat eksistensialisme. Ada pohon kecil yang buahnya berupa bola lampu menyala.
"Ampuun! Aku tak bisa mengontrol pikiranku," gumamnya frustrasi.
Seketika, kontroler permainan video raksasa muncul di tangannya—karena dia berpikir tentang "kontrol." Dia melemparnya ke lantai dengan kesal.
Ketika dia berpikir "aku ingin normal", ingatan tentang masa lalunya mengalir. Normal baginya adalah terlambat bus, kehujanan tanpa payung, makanan basi, tagihan menumpuk, dan rangkaian kesialan yang tak berujung. Karena itulah normalitas yang dia kenal selama ini.
Dan seketika—seperti film yang diputar mundur—segala keajaiban mulai memudar. Bidadari-bidadari itu terbang kembali ke langit dengan wajah sedih. Bunga-bunga kristal gula meleleh meresap ke pori tanah. Kuda-kuda mini menghilang dalam kepulan asap warna-warni. Buku bersampul kulit domba, ikan opera, dan boneka beruang filosofis—semuanya larut seperti bayangan senja.
Keesokan harinya, Wirang bangun telat. Sepatu lusuhnya sobek. Bus yang ditunggu mogok. Atasan membentak karena laporan yang salah. Makan siang tumpah ke baju. Dompet tertinggal di meja kantor.
Dia duduk lagi di bangku taman yang sama, basah kuyup karena hujan biasa—hujan air yang berbau got dan debu kota. Tidak ada bidadari. Tidak ada bunga kristal. Hanya dia dan lingkaran sial yang familiar.
"Tuhan," bisiknya sambil tersenyum pahit.
"Aku tahu kenapa namaku Wirang, dan sepertinya aku memang seharusnya sewirang ini."
Langit tidak menjawab. Hanya mengirimkan tetesan hujan yang lebih deras, membasahi pipinya yang sudah basah oleh air mata yang tidak dia sadari.
Dan Wirang menyadari sesuatu yang ironis: dia sudah mendapatkan apa yang dimintanya. Dia memang menjadi orang beruntung—beruntung karena bisa kembali kepada kesialan yang sudah menjadi bagian dirinya. Karena tanpa kesialan itu, dia bukan Wirang.
Di kejauhan, angin malam membawa tawa halus yang mungkin dari Tuhan, atau mungkin hanya suara dedaunan kering.
Malang, -