Namanya Amber—seperti warna cairan yang dia yakini mengalir dalam pembuluh darahnya. Bukan darah, tentu saja. Pria itu yakin betul bahwa yang mengalir di tubuhnya adalah whiskey tua berusia tiga puluh tahun, sama seperti umurnya saat ini.
Setiap pagi, Amber bangun dengan rasa pahit di lidah dan aroma Ek yang menguar dari pori-pori kulit. Ibunya selalu bilang dia berbeda sejak kecil—tidak pernah menangis seperti bayi normal, hanya mengeluarkan suara mengericik seperti cairan yang dituang ke gelas kristal.
"Kamu lahir dari botol Jack Daniel's yang ibu simpan di lemari dapur," kata sang ibu suatu hari sambil menatap kosong ke arah jendela. "Botol itu pecah tepat saat kontraksi terakhir ibu. Kamu keluar dari serpihan kaca, lengkap dengan label yang menempel di punggungmu."
***
Amber masih ingat label itu. Label yang masih ada di punggungnya—huruf-huruf emas yang bersinar setiap kali dia berkeringat. Old No. 7 tertulis tepat di antara tulang belikatnya. Dokter-dokter di rumah sakit bilang itu tato, tapi Amber tahu lebih baik. Itu adalah tanda lahir.
Ketika berumur tujuh tahun, dia mulai memahami bahwa tubuhnya bekerja secara berbeda. Saat teman-teman minum susu, dia membutuhkan seteguk Bourbon untuk sarapan. Guru-guru di sekolah khawatir, tapi anehnya, semua nilai ujian mata pelajarannya selalu sempurna. Alkohol tidak membuatnya mabuk—dia menenangkan, membuatnya berpikir jernih seperti kristal.
Di usia dua puluh lima, Amber bertemu Clara di sebuah Bar bernuansa Jazzy. Wanita itu seorang pianis di sana. Ia tampak menarik dengan jari-jari panjang yang menari di atas tuts seperti hujan di atas daun. Ketika Amber menceritakan asal-usulnya, Clara tidak tertawa seperti yang lain.
"Tunjukkan padaku," bisik Clara.
Amber melepas kemejanya. Label di punggungnya bersinar lembut dalam cahaya lilin Bar yang redup. Clara menyentuhnya dengan ujung jari, dan tiba-tiba musik piano terdengar dari kulit pria itu—not-not Jazzy yang melankolis.
"Kamu bukan manusia," bisik Clara. "Kamu adalah jiwa yang terjebak dalam bentuk manusia."
Malam itu, Clara dan Amber bercinta, dan setiap kali wanita itu menyentuhnya, tubuh laki-laki itu mengeluarkan aroma vanilla dan karamel. Air mata Clara yang jatuh ke dadanya berubah menjadi tetes-tetes Whiskey murni.
Namun cerita indah dengan Clara tidak bertahan lama. Suatu pagi, Amber terbangun dan mendapati Clara telah berubah menjadi gelas kristal kosong di sampingnya. Bibir wanita itu yang dulu hangat kini menjadi bibir gelas yang dingin. Matanya yang coklat menjadi pantulan cahaya di permukaan kristal.
Laki-laki itu menangis, dan air matanya adalah whiskey. Dia menuangkan dirinya ke dalam gelas yang dulu adalah Clara, berharap mereka bisa bersatu kembali. Tapi yang terjadi adalah dia merasakan kehampaan yang luar biasa—seperti botol yang dibiarkan terbuka terlalu lama, kehilangan semua aromanya.
Kini Amber hidup sendiri di apartemen kecil yang penuh dengan botol-botol kosong. Setiap malam, dia berbicara dengan botol-botol itu, bercerita tentang hari-harinya. Botol-botol itu mendengarkan dengan sabar, sesekali berdenting pelan seolah merespon.
Kadang-kadang, laki-laki itu bermimpi tentang Distileri tempat dia sebenarnya dilahirkan—ruang-ruang kayu besar dengan tong-tong Ek yang mendengkur lembut, dan uap yang mengepul seperti jiwa-jiwa yang naik ke Surga. Di sana, ada tempat untuknya di antara botol-botol saudara-saudaranya.
Tapi untuk saat ini, Amber masih terjebak dalam bentuk manusia, dengan jantung yang berdetak dalam ritme tetes Whiskey, dan mimpi-mimpi yang berwarna amber.
Suatu hari, dia akan kembali ke bentuk asalnya.
Suatu hari, seseorang akan membuka tutupnya dan menuangkannya ke dalam gelas, dan dia akan menjadi bagian dari cerita mereka—hangat, membakar, dan tak terlupakan.
Hingga hari itu tiba, Amber akan terus menunggu, seperti Whiskey yang sabar menua dalam kegelapan.
Malang, -