Jangan lupa untuk follow, like, komen dan share Instagram kami ke teman-teman kalian, ya! Instagram, here

CERPEN | Rumah Tanpa Catatan Kisah


1/.
Aku menyebutnya kantor di pagi hari

—riuh derit kopor tua dan derap sepatu 'pantofel' mengkilap. Teriakan tua-muda-bocah asongan dengan warna mata yang tampak tak pernah lelah. Pertemuan rel dan roda kereta api disertai nyaring peluit petugas berseragam biru telur asin, serta tak lupa derai suntuk yang mengalun dari kering tenggorokan suara para pengamen jalanan; "kami bernyanyi angin-anginan, di tengah deras laju pembangunan ...,"

2/.
Aku menyebutnya tempat singgah kala senja menjelang

—ketika lengang menjadi ruang kisah para security dan penjaja kopi. Tentang perempuan yang semalam dan semalamnya lagi mati bunuh diri. Ia menulusup masuk ke bawah lorong roda kereta saat sedang masih belum berhenti benar. Sedangkan perempuan yang sebelumnya lagi, dengan sengaja mengaitkan tali tampar di lehernya, dengan simpul ujung yang lain terikat pada pintu gerbong kereta terakhir, dan seketika terjadilah; tubuhnya terkail dan menabrak sembarangan semua yang ia lewati, dan belum genap 10 meter kereta berjalan, kepalanya putus, menggelinding begitu saja menemui pagar pembatas di sisi kanan rel kereta. "Keduanya sedang patah hati," kesimpulan mereka sembari mencecap kopi.

3/.
Tempat ini adalah panggung hiburan kala adzan isya telah usai berkumandang.

—tentang Sukaesih yang memadu kasih dengan Ramdhan di dalam gerbong kereta, Pratiwi yang mencak-mencak mendapati Prakoso pulang tanpa hasil 'nyopet', Kardiman yang kesusahan melebarkan ujung selang agar pas benar untuk menghisap penisnya sendiri, Jatmiko yang masih saja menghirup sekaleng lem castol sedari pagi tadi di dalam tong bekas merebus aspal jalan, serta ketakutan Cuplis dengan kelebat lelaki berbadan tegap yang merobek anusnya pada satu malam. Yang bagi orang-orang di luar sana, hal ini adalah tragedi. Kemiskinan memaksa panggung ini hadir di sini. Namun mereka memaknainya sebatas, "beginilah hidup. Dan Tuhan hanya sebatas pilihan jalan pulang."

4/.
Ketika malam telah larut benar. Ketika kesepian melebur pada sunyi. Aku mengatakan pada Ibu, bahwa inilah rumah kita yang dulu.

—sebelum cor dan beton menancap kuat pada kavling tanah yang masih dalam proses sidang sengketa. Sebelum kami gigih berjuang mempertahankan tanah gersang yang benar-benar kami miliki secara turun temurun. Sebelum setiap waktu terjaga untuk bersiap mempertahankan. Sebelum kami tetap bersikeras tidak mau pindah, dan lantas mati terlindas 'Buldozer' saat pagi dini hari. 

***

Sial, sampai saat ini tak satupun berita kematian kami yang muncul di koran, pun dalam bentuk cerita fiksi, atau bahkan sekedar puisi. 

Malang, -

Post a Comment

Ratakiri Selamat datang di Whatsapp chat
Halo, apa kabar?
Klik di sini ...