Pernahkah kamu duduk di depan laptop, menatap draft novel, cerpen, atau cerbung yang sudah kamu tulis selama berbulan-bulan, tapi dalam hati kecil tahu bahwa cerita ini... yah, tidak kemana-mana? Tapi karena sudah menghabiskan ratusan halaman dan puluhan malam begadang, kamu tetap memaksakan diri melanjutkannya. Ehem... Selamat datang di dunia sunk cost fallacy penulis!
Mengapa Penulis Susah Move On dari Tulisan Jelek?
Maya Angelou pernah berkata,
"There is no greater agony than bearing an untold story inside you."
Tapi ironisnya, kadang agoni yang lebih besar adalah terus menceritakan kisah yang seharusnya tidak diceritakan, hanya karena kita sudah terlanjur memulainya.
Sunk cost fallacy ini seperti virus yang menginfeksi hampir setiap penulis. Kita begitu terikat dengan investasi waktu, tenaga, dan emosi yang sudah dikeluarkan, sampai-sampai lupa bahwa kadang berhenti adalah pilihan yang lebih bijak daripada melanjutkan.
Stephen King, dalam bukunya On Writing, pernah menyebut fenomena ini sebagai "darlings" yang harus dibunuh. "Kill your darlings, kill your darlings, even when it breaks your egocentric little scribbler's heart, kill your darlings."
Yang menarik, dunia penerbitan sebenarnya penuh dengan kisah penulis yang berani membuang karya setengah jadi. J.K. Rowling menulis ulang bab pertama Harry Potter sebanyak 15 kali. Bayangkan kalau dia terjebak sunk cost fallacy dan mempertahankan draft pertama yang "sudah terlanjur ditulis"!
Tapi jangan salah, bukan berarti kita harus mudah menyerah. Bedanya adalah antara "gigih" dan "keras kepala." Gigih adalah ketika kamu tahu ceritamu punya potensi tapi butuh dipoles. Keras kepala adalah ketika kamu memaksakan cerita yang sudah jelas-jelas tidak berfungsi, hanya karena sayang sama waktu yang sudah dihabiskan.
Ernest Hemingway punya filosofi sederhana: "The first draft of anything is shit."
Dia paham betul bahwa menulis adalah proses revisi, bukan kompetisi siapa yang paling loyal sama draft pertama. Kadang, membuang 50 halaman yang tidak berguna justru membuka jalan untuk 10 halaman yang brilian.
Jadi, bagaimana cara menghindari perangkap ini? Pertama, belajar mengenali tanda-tanda kapan sebuah tulisan sudah tidak worth it untuk dilanjutkan. Kedua, ingat bahwa waktu yang sudah dihabiskan untuk menulis tidak pernah benar-benar sia-sia—itu adalah proses belajar. Dan ketiga, seperti yang dikatakan Toni Morrison,
"If there's a book that you want to read, but it hasn't been written yet, then you must write it."
Tapi kalau ternyata setelah ditulis bukunya tidak sebagus yang kamu bayangkan, ya sudah, move on ke buku berikutnya.
Dan pada akhirnya, menjadi penulis bukan soal berapa banyak yang berhasil kita tulis, tapi seberapa berani kita memilih gagasan yang tepat—bahkan jika itu berarti membuang yang salah.
Malang, -