Aku sudah membayangkan perjalanan menjelang siang ini, nantinya akan sangat melelahkan. Bukan perkara jarak atau berapa lama untuk sampai di tujuan. Lebih kepada persoalan bertemu dengan banyak orang asing.
"Bukan hanya senjata dan bekal memadai, untuk bertahan hidup dalam situasi perang. Kita juga membutuhkan cerita dan bahkan lelucon dalam menghadapinya."
Begitu pula sebuah perjalanan. Seringkali aku berusaha mengarang sebuah cerita tentang pekerjaanku, untuk mengelabui orang-orang yang kutemui. Tentunya dengan sedikit bumbu lelucon tentang kecerobohan-kecerobohan di pekerjaan yang sedang aku karang.
Asal kau tahu. Berdasarkan pengalaman, mengatakan kepada orang asing di dunia nyata bahwa pekerjaan kita adalah penulis, merupakan sebuah kesalahan besar.
"Oh, penulis? Gimana sih cara menerbitkan buku?"
"Oh, penulis? Sudah berapa buku yang diterbitkan?"
"Oh, penulis? Mau dong dikasih bukunya."
Pertanyaan dan pernyataannya akan sangat mudah ditebak, dan ini membosankan bagiku. Jika saja aku menuliskan secara template pertanyaan sekaligus jawabannya, aku berani taruhan jika tidak akan lebih dari satu halaman folio bergaris.
Membosankan. Jika saja berada dalam perjalanan yang memakan waktu hingga 8 jam, maka aku sudah gugur di 10 menit pertama jika mengatakan bahwa diriku seorang penulis. Maka dari itu, kupikir jauh lebih menyenangkan ketika aku barus mengarang sebuah cerita dan lelucon yang baru.
Pernah aku mengarang cerita bahwasanya aku seorang driver gojek dengan reputasi buruk hanya karena persoalan touch screen hapeku rusak. Aku menceritakannya kepada seorang bapak-bapak yang satu angkot denganku. Kebetulan dari awal naik angkot sampai terminal tujuan, hanya kami berdua di dalam angkot tersebut. Entah, aku sendiri bingung kenapa sampai terpikir ide menjadi driver Gojek. Tapi ini menyenangkan.
Pada momen yang lain membicarakan diriku sebagai pekerja laundry yang dituntut serba cepat menggunakan mesin pengering dan setrika uap, hingga diriku tak sempat menguap.
Banyak sekali cerita profesi khayalan dengan segala macam leluconnya. Bahkan satu waktu aku harus bersitegang dengan orang asing hanya karena diriku mengaku pernah berprofesi sebagai seorang pencopet.
Ini seru! Daripada aku harus menceritakan bahwa diriku seorang penulis. Apalagi jika bertemu dengan orang asing yang katanya 'penulis'. Jangan sekali-sekali mencoba untuk mengatakan profesi yang sebenarnya, jika tidak ingin muntah di tengah perjalanan.
Ada yang meragukan dengan bertanya, "kok aku gak pernah denger namamu ya?". Sumpah, cuma bisa kasih senyum kecut saja kepadanya. Dijawab salah, tidak dijawab juga salah. Dijawab as a ghostwriter juga akan bertanya lagi, "... judul bukunya apa? nama orang yang kamu tuliskan siapa?". Penulis kok gak paham kode etik penulis apalagi Ghostwriter, sih? Mana mungkin aku menceritakan pada orang asing tersebut bahwa aku menuliskan buku untuk Si A atau Si B? Sama saja bunuh diri! Perkara terkenal atau tidak, adalah urusan lainnya. Apakah dia pernah denger nama-nama penulis seperti Jhumpa Lahiri? Emily Bronte? Chinua Achebe? Tidak mungkin. Aku berani bertaruh sekali lagi, bahwa dia tidak pernah tahu. Bahkan sekedar mendengar saja tidak. Apakah dia juga akan meragukan profesi penulis dari nama-nama tersebut hanya karena tidak pernah mengenalnya? Ah!
Belum lagi jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya penulis hanya untuk mengisi waktu senggang. Memang, tampaknya tidak masalah. Satu hal lumrah di kalangan orang awam. Tapi di sisiku sebagai penulis, terasa ada sedikit pelecehan terhadap profesi penulis. Seolah profesi penulis dengan kegiatan menulisnya adalah sebuah kegiatan yang bisa dilakukan dengan santai dan tanpa kerja keras. Sama-sama menjengkelkannya ketika ada seseorang yang meremehkan profesi sebagai seorang ibu rumah tangga (IRT)! Jadi IRT itu jam kerjanya 24 jam bahkan lebih! Kalau saja dia sendiri sehari saja mencobanya, tidak akan sanggup, dan akan menyesal jika meremehkan profesi ibu rumah tangga.
Hal ini sama-sama memuakkannya dimana ketika kita mengatakan bahwa kita berprofesi sebagai seorang penulis dan direspon dengan orang asing sembari mengaku karyanya sudah dimuat di media nasional, menjuarai event, dan sebagainya. Ehem, kok nggak penting ya? Ketika menjadi penulis adalah sebuah profesi, maka hal-hal seperti itu adalah sekedar bagian dari profesinya. Buat apa dibanggakan ke sesama penulis? Kecuali jika memang untuk ditulis di dalam CV, ya memang harus.
Bagi kebanyakan orang, kebiasaanku mengarang sebuah cerita ketika bertemu orang asing, cukup aneh. Apalagi jika kujelaskan panjang lebar seperti ini. Akan semakin tampak aneh.
Salah satu buku dan laman blog yang menyelamatkan kegelisahanku sebelum melakukan perjalanan jauh adalah sekumpulan cerpen milik Mazen Maaruf yang berjudul Jokes for the Gunmen, laman blog milik Ben Loory dan tidak lupa juga mengunjungi artikel-artikel Afutami.
Khusus cerita-cerita Mazen Maaruf, meski berulang kali, tetap menyenangkan untuk dibaca. Bahkan memberikan semacam inspirasi tersendiri untuk bersiap mengarang cerita kepada orang asing yang akan kutemui dalam sebuah perjalanan. Bagaimana tidak? Semua cerpen di dalamnya menceritakan tukang kibul. Dimana semua tokoh, mengibul melalui cerita dan lelucon untuk bertahan hidup atau setidaknya meringankan beban hidupnya.
Salah satu yang selalu mencuri ingatan adalah cerpen yang judulnya menjadi judul buku tersebut. Dimana seorang anak mengarang sebuah cerita tentang ayahnya yang brutal, hanya agar sang ayah tidak dipandang sebagai pecundang lagi. Anak itu menceritakan bagaimana dia dihajar habis-habisan oleh ayahnya ketika pulang sekolah, hanya agar sang ayah tampak hebat di mata teman-temannya. Entah apa penyebab hingga si anak memiliki pikiran bahwa ayah yang kejam itu keren dan hebat.
Sial bagi anak tersebut, ceritanya tidak pernah berhasil. Ayahnya tetaplah seorang pecundang di mata orang lain. Suatu hari anak itu harus mendapati ayahnya babak belur dihajar preman. Ya, Ayahnya memang seorang pecundang. Bukan seorang Ayah yang kejam, keren, dan hebat seperti yang telah ia ceritakan kepada teman-temannya. Ayahnya pun pada satu saat menegaskan bahwa dirinya adalah seorang pecundang sejati dengan kabur dari rumah meninggalkan rumah dan keluarganya. Meski begitu, si anak masih sempat bercerita kepada teman-temannya bahwa ayahnya diculik!
Ya. Bagiku, bertahan dalam sebuah perjalanan panjang adalah bentuk lain dari bertahan hidup. Membuat sebuah cerita dan lelucon adalah salah satu cara bertahan selain makan-minum, berpendidikan, dan (mungkin) bercinta.
Apapun itu, bukan tidak mungkin pula cerita ini juga merupakan sebuah karangan belaka. Boleh dipercaya atau tidak. Yang jelas, perjalananku akhirnya terlewati hingga separuh jalan dengan sangat menyenangkan. Kebetulan, sheet di sebelahku kosong. Tidak ada orang asing. Aku bisa menikmati sembur kerlip cahaya Taman Ueno dari ketinggian sekarang, sembari bercerita banyak hal kepada bulan yang sedang separuh bayang. Akan begitu seterusnya, sampai nanti tiba di Haneda Kūkō (Bandara Haneda). Mungkin juga akan begitu seterusnya dalam kehidupan nyata. Aku akan mengarang banyak cerita dan lelucon kepada orang asing untuk memastikan diriku bertahan lebih lama, sampai aku tidak bisa memastikan mana cerita khayalan dan mana cerita yang sebenarnya--termasuk tentang seseorang yang sedang kutuju.
Malang, -