Jangan lupa untuk follow, like, komen dan share Instagram kami ke teman-teman kalian, ya! Instagram, here

Search Suggest

CERPEN | Pemungut Batu Kerikil

Setiap pagi, Arkan membawa kantong plastik hitam ke halaman belakang rumahnya. Tetangga-tetangganya sudah terbiasa melihat pemandangan aneh itu: seorang pria paruh baya yang mengantongi kerikil-kerikil kecil satu per satu dengan pinset. Prosesi ini berlangsung selama empat jam penuh, dari pukul enam pagi hingga sepuluh.

"Gendheng," bisik Bu Sari sambil mengintip dari jendela dapurnya. "Sudah setahun lebih dia melakukan hal yang sama. Ambil kerikil, dibawa ke pucuk, turun, ambil lagi."

Pak Wanto, tetangga sebelah kiri, hanya menggeleng. "Mungkin stres karena kehilangan istrinya. Orang yang sedang berduka kadang melakukan hal-hal aneh."

Tapi mereka tidak tahu bahwa Arkan mendengar setiap bisikan mereka. Di dalam pikirannya, suara-suara itu bercampur dengan gemuruh batu yang menggelinding turun dari puncak gunung, berulang-ulang, seperti rekaman yang rusak.

Arkan tahu persis apa yang dia lakukan. Dia tahu bahwa menumpahkan kerikil di puncak gunung Watu dan lalu mengambil di dasar lagi adalah tindakan yang tampak sia-sia di mata orang lain. Tapi dia juga tahu siapa dirinya sebenarnya.

***

Namanya bukan Arkan. Nama aslinya adalah nama yang telah terkubur dalam mitologi kuno, nama yang dihukum para dewa untuk selamanya. Dia adalah Sisyphus, dan kerikil-kerikil kecil itu adalah batu raksasa yang harus dia dorong ke puncak gunung setiap hari.

"Kenapa kamu tidak berhenti saja?" tanya Rina, tetangga muda yang sesekali masih menyapa dengan ramah. "Kelihatannya melelahkan sekali."

Arkan tersenyum—senyuman yang aneh, seolah dia menyimpan rahasia yang tidak bisa dipahami manusia biasa. "Karena ini adalah hidup, Rin. Ini adalah caraku untuk tetap hidup."

Rina mengerutkan dahi, tidak mengerti. Tapi baginya, Arkan masih terlihat seperti manusia normal yang sedang patah hati, bukan dewa yang terkutuk.

Dalam pikirannya, Arkan melihat dirinya mendorong batu raksasa melawan gravitasi yang kejam. Setiap kali pinset mengambil kerikil, dia merasakan beban ribuan ton di bahunya. Setiap kali kerikil jatuh kembali ke tanah, dia mendengar tawa para dewa yang mengejek.

Tapi ada sesuatu yang tidak dipahami para dewa. Ada sesuatu yang tidak dipahami tetangga-tetangganya.

Dia bahagia.

Bukan bahagia dalam artian konvensional. Bukan bahagia seperti orang yang memenangkan judi online atau menemukan cinta sejati. Tapi bahagia dalam artian yang lebih dalam—bahagia karena masih bisa merasakan beban, masih bisa berjuang, masih bisa menolak keputusasaan.

"Perjuangan menuju puncak itulah kehidupan," gumamnya sambil memasukkan kerikil ke-278 ke dalam kantong. "Meski nantinya kita harus mengulang lagi."

Suatu sore, Arkan menemukan seekor kucing kecil terjebak di selokan. Tanpa ragu, dia berhenti dari ritual hariannya dan menolong kucing itu. Tetangganya yang melihat, terkejut. Ini pertama kalinya dalam setahun mereka melihat Arkan melakukan sesuatu yang "normal."

Tapi bagi Arkan, menolong kucing itu bukanlah jeda dari hukumannya. Itu adalah bagian dari perjuangan menuju puncak. Bahkan dalam siklus yang tampak tanpa makna, ada momen-momen kecil kebaikan yang membuatnya lebih manusiawi.

Malam itu, Arkan bermimpi bertemu dengan filsuf Prancis bernama Albert Camus di sebuah kafe yang tidak ada di peta mana pun. Camus memesan kopi hitam, Arkan memesan Chamomile.

"Kamu mengerti, kan?" tanya Camus dalam bahasa Prancis yang anehnya bisa dipahami Arkan.

"Apa yang harus kumengerti?"

"Bahwa absurditas adalah kebebasan. Ketika kamu menerima bahwa hidupmu tidak memiliki makna yang telah ditentukan sebelumnya, kamu bebas untuk menciptakan makna sendiri."

Arkan mengangguk. "Jadi kerikil-kerikilku..."

"Adalah pilihan. Kamu bisa memilih untuk melihatnya sebagai hukuman, atau sebagai tarian. Kamu bisa memilih untuk putus asa, atau untuk tertawa bersama absurditas itu."

***

Ketika Arkan bangun, matahari sudah terbit. Dia mengambil kantong plastik hitamnya, seperti biasa. Tapi kali ini, ketika dia mengambil kerikil-kerikil dari tanah, dia mendengar sesuatu yang berbeda.

Bukan suara mengejek para dewa. Bukan bisikan tetangga yang menganggapnya gila.

Dia mendengar sebuah alunan musik.

Kerikil-kerikil yang berjatuhan menciptakan irama yang kompleks, seperti gamelan yang dimainkan oleh komposer yang memahami rahasia waktu. Dan ketika dia mengambilnya kembali satu per satu dengan pinset, setiap gerakan terasa seperti langkah dalam tarian alam yang hanya dia yang mengerti koreografinya.

Bu Sari masih mengintip dari jendelanya, masih menggeleng dengan tidak mengerti. Pak Wanto masih menganggap Arkan stress berat. Rina masih berpikir bahwa yang dia lihat adalah pemandangan menyedihkan dari seorang pria yang sedang patah hati.

Tapi mereka tidak melihat senyuman kecil di wajah Arkan. Mereka tidak melihat cara matanya bersinar ketika kerikil ke-300 akhirnya masuk ke kantong. Mereka tidak mendengar gumamannya: "Satu lagi. Selalu ada satu lagi. Dan itu indah."

Karena inilah yang dipahami Arkan, yang tidak dipahami orang lain: 

"Hidup bukanlah tentang mencapai puncak dan berhenti di sana. Hidup adalah tentang perjuangan menuju puncak itu sendiri, berulang-ulang, dengan penuh kesadaran bahwa besok dia harus melakukannya lagi."

Dan dalam pengulangan itu, dalam absurditas itu, dalam sia-sia yang tampak itu, tersimpan kebebasan terbesar yang bisa dimiliki manusia: kebebasan untuk memilih bagaimana dia akan menghadapi takdirnya.

Arkan adalah Sisyphus. Dan Sisyphus—meski dalam tubuh seorang pria paruh baya yang tinggal di kaki Gunung Watu—adalah bahagia.

Malang, -

Ratakiri Selamat datang di Whatsapp chat
Halo, apa kabar?
Klik di sini ...